Seni Sastra dari Masa Hindu-Budha

 Seni Sastra

Pada masa Majapahit, kesusastraan dibagi berdasarkan bahasa yang dipergunakan. Sampai dengan abad ke-14. (zaman Majapahit I) bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa kuno, dan setelah abad ke-15 (zaman Majapahit II) menggunakan bahasa Jawa pertengahan. 

Ilustrasi Seni Sastra
Hasil-hasil kesusastraan yang berkembang di Bali (zaman Kerajaan Samprangan-Gelgel) termasuk dalam zaman Majapahit II.

Pada masa Kerajaan Singasari sampai Majapahit karya-karya di bidang kesusastraan tidak sebanyak karya pada zaman Kerajaan Kadiri. Kemerosotan seni sastra diperkirakan karena tidak adanya pujangga yang bermutu dan adanya kehidupan sosial dan politik yang kurang stabil. Dari 1222 sampai 1328 Jawa Timur dilanda oleh pemberontakan-pemberontakan. Setelah naiknya Tribuwana Tunggadewi pada 1334 dengn Maha Patih Gadjah Mada, ketentraman di dalam negeri kembali pulih dan perluasan wilayah ke pulau-pulau lain. Kejayaan Majapahit mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanegara. Pada masa itu muncul berbagai karya sastra, di antaranya adalah Kakawin Negarakretagama.

1. Kakawin Sumanasantaka
Kakawin Sumanasantaka merupakan hasil karya Mpu Monaguna atas perintah Raja Warsajaya di Kerajaan Kadiri sekitar 1104, mengisahkan tentang kelahiran Dasarata di Ayodya. Ceritanya diawali dengan digodanya Begawan Trenawindu yang sedang bertapa oleh bidadri Harini atas perintah dewa Indra. Harini terkena serapah Trenawindu dan menjelma menjadi putri Raja Karthakesika dari kerajaan Widarba bernama Indumati.[1]
Kakawin Sumasantaka
Gambar 1 : Kakawin Sumasantaka (Sumber: https://budayajawa.id/kakawin-sumanasantaka/)
Putri Indumati disayembarakan dan pemenangnya adalah Sang Aja Putra Prabu Ragu. Setelah dipersunting Sang Aja, Indumati melahirkan Dasarata. Ketika saatnya Indumati kembali ke kahyangan, Dewa Narada melemparnya dengan bunga sehingga matilah Dewi Indumati. Sang Aja juga meninggal setelah bertapa di tempuran Sungai Serayu dan Sungai Gangga, dan keduanya dapat berkumpul kembali ke alam sargaloka.

2. Kitab Bharatayudha
Serat Baratayudha
Gambar 2: Serat Baratayudha (Sumber: https://budayajawa.id/kakawin-sumanasantaka/)
Merupakan karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Raja Jayabaya dari Kadiri. Kakawin ini mengisahkan peperangan antara Pandawa dan Kurawa di medan Kurusetra. Bagian awal sampai Prabu Salya berangkat ke medan Kurusetra dikarang oleh Mpu Sedah dan selanjutnya digubah oleh Mpu Panuluh.[2]

3. Kakawin Hariwangsa 
Kakawin Hariwangsa
Gambar 3: Kakawin Hariwangsa (Sumber: https://medium.com/deuteronomi/antara-takdir-dan-cinta-98a6b4b64292)
Digubah oleh Mpu Panuluh pada zaman Kadiri masa pemerintahan Raja Jayabhaya. Kakawin ini bercerita tentang perkawinan Kresna dengan Rukmini atau kisah percintaan antara Kresna dan Rukmini putri Raja Bismaka dari Kerajaan Kumbhina.[3]

Negarakretagama merupakan pujasastra tentang keagungan Majapahit dan keluhuran Sri Rajasanagara karya Mpu keagungan Majapahit dan keluhuran Sri Rajasanagara karya Mpu Prapanca pada 1365. Karya ini merupakan paduan sejarah dan sastra bermutu tinggi yang menguraikan tentang daerah dan desa-desa sehingga disebut juga Desawarnana (uraian tentang desa-desa)

Kakawin Negarakretagama
Gambar 4: Kakawin Negarakretagama (Sumber: https://www.keepsoh.com/kitab-negarakertagama/)
Kakawin ini merupakan sumber pengetahuan tentang Majapahit dalam abad ke-14, terutama ritual-ritual istana dan adminastrasi Majapahit. Di dalamnya memuat informasi tentang upacara keagamaan terutama upacara sraddha, yaitu upacara yang ditujukan kepada arwah leluhur agar dapat mencapai moksa.[4]

Merupakan kitab karya Mpu Tantular yang berisi cerita moralistik dan dikdatik Buddha tentang pahlawan Sutasoma yang menyerahkan hidupnya dengan sukarela menjadi mangsa raksasa Kalmasa Pada (Purusada). Raksasa Kalmasa pada kagum akan kerelaan itu dan tidak jadi memakanannya. Bahkan raksasa tersebut justru bertobat dan memeluk agama Buddha. 

Kakawin Sutasoma
Gambar 5: Kakawin Sutasoma (Sumber: https://lifestyle.bisnis.com/read/20170605/230/659442/kitab-inspirasi-bhinneka-tunggal-ika-karya-mpu-tantular-dipamerkan-di-museum-nasional)
Sutasoma adalah Bodhisatwa. Dalam kitab tersebut tercantum ajaran agama yang berbunyi ”Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang berarti ‘berbeda-beda tetapi tetap satu, sesungguhnya tidak ada hukum agama yang mendua’.[5]

Kitab karya Mpu Tantular ini menguraikan peperangan antara Parabu Arjuna Sasrabahu dan Pendeta Parasurama. Arjunasasrabahu membendung Sungai Narmada untuk dijadikan tempat bercengkrama dengan Citrawati, permaisurinya. 

Kakawin Arjuna Wijaya
Gambar 6: Kakawin Arjuna Wijaya (Sumber: https://www.dictio.id/t/apa-itu-kitab-arjuna-wijaya/82664)
Pada saat itu Dasamuka sedang bertapa memuja lingga tetapi terlanda banjir akibat bendungan Sungai Narmada. Dalam perang tanding Dasamuka dapat dikalahkan dan dibelenggu dengan rantai besi. Begawan Pulastya, kakek Dasamuka, kemudian datang dan memintakan ampun kepada Arjunasasrabahu, sehingga Dasamuka dibebaskan dan kembali ke Alengka. [6]




[1] Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia masa Hindu-Buddha, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), hlm. 117, cet. ke-2.
            [2] Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia masa Hindu-Buddha, hlm. 118.
            [3] Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia masa Hindu-Buddha, hlm. 119.
            [4] Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia masa Hindu-Buddha, hlm. 119.
            [5] Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia masa Hindu-Buddha, hlm. 120.
            [6] Ririn Darini, Sejarah Kebudayaan Indonesia masa Hindu-Buddha, hlm. 119.




0 comments:

Post a Comment